Tata Kelola Kolaboratif : Konsep, Peluang dan Tantangannya

Tata Kelola kolaboratif mulai menggema sejak dua dekade lalu yang merupakan respons dari kegagalan implementasi kebijakan dan regulasi biaya tinggi yang dilakukan pemerintah. Munculnya berbagai kelompok kepentingan dan gagalnya akuntabilitas publik dari program pemerintah memicu munculnya konsep tata kelola kolaboratif Pertumbuhan ilmu pengetahuan, infrastruktur, dan kapasitas kelembagaan baik dalam pemerintahan dan masyarakat yang semakin kompleks dan saling berkaitan menyebabkan tuntutan tata kelola kolaboratif semakin meningkat.

Konsep Collaborative Governance

  • Edward DeSeve (Sudarmo, 2015) mendefinisikan collaborative governance adalah sebagai sebuah sistem yang terintegrasi dengan hubungan yang dikelola melintasi batas-batas organisasi formal dan informal dengan prinsip-prinsip organisasi yang direkonsepsi dan definisi kesuksesan yang jelas.
  • Stephen Balogh (2012) : Collaborative governance merupakan proses dan struktur dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang melibatkan orang-orang dari lembaga publik, dan masyarakat serta swasta dalam rangka untuk melaksanakan kepentingan masyarakat yang tidak bisa ditangani sendiri.

Proses Collaborative Governance

Menurut Ansell dan Grash (2007: 558 561) :

  1. Dialog tatap muka

Semua bentuk tata kelola kolaboratif didasarkan pada dialog tatap muka langsung dari masing-masing pemangku kepentingan yang terlibat. Seperti halnya tata kelola kolaboratif yang berorientasi pada proses, dialog langsung sangat penting untuk mengidentifikasi peluang dan keuntungan bersama.

  • Membangun Kepercayaan

Pada awal proses kolaborasi, tingkat kepercayaan antar pemangku kepentingan seringkali rendah, yang pasti kerja sama bukan hanya soal negosiasi antara para pihak, tapi juga tentang upaya membangun rasa saling percaya. Membangun kepercayaan harus dilakukan sesegera mungkin saat melakukan proses kolaborasi awal. Hal ini dilakukan agar para pemangku kepentingan tidak mengalami egosentrisme antar lembaga.

  • Komitmen terhadap Proses

Komitmen tentu memiliki kaitan yang kuat dengan proses kolaborasi. Keterlibatan adalah motivasi untuk terlibat atau berpartisipasi dalam tata kelola kolaboratif. Menghindari risiko proses kolaboratif membutuhkan komitmen yang kuat dari semua pemangku kepentingan.

  • Berbagi pemahaman

Pada saat yang sama, proses kolaborasi mensyaratkan bahwa para pemangku kepentingan yang terlibat memiliki pemahaman yang sama tentang apa yang dapat mereka (stakeholder) capai melalui kolaborasi. Saling pengertian ini dapat dijelaskan sebagai misi bersama, tujuan bersama, tujuan bersama, visi bersama, ideologi bersama, dan sebagainya.

  • Hasil Sementara

Hasil sementara ini terjadi ketika tujuan potensial dan manfaat kolaborasi relatif spesifik dan manfaat kecil dari kolaborasi dapat dicapai.

Model Collaborative Governance

Model collaborative governance menurut H. Brinton Milward dan Keith G. Provan dibagi menjadi model self-governance, lead governance dan network administrative governance (Milward dan Provan, 2006; Sudarmo, 2011).

  1. Model self-governance ditandai dengan struktur dimana tidak ada entitas administratif namun demikian masing-masing pemangku kepentingan berpartisipasi dalam jaringan (network), dan manajemen dilakukan semua anggota (pemangku kepentingan) atau yang terlibat.
  2. Model lead organization ditandai dengan adanya entitas administrative (dan juga manajer yang melakukan jaringan) sebagai anggota network atau penyedia layanan.
  3. Model network administrative organization ditandai dengan adanya entitas administratif secara tegas, yang dibentuk untuk mengelola “network” bukan sebagai “service provider” dan manajernya digaji. Model ini merupakan campuran dari dua model sebelumnya yaitu model self-governance dan lead organization.

HIMIA FISIP UMJ

Official Website Himpunan Mahasiswa Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.